Wednesday, February 11, 2015

Di Ujung Jembatan (Catatan Azis Js Setyawan)


Hujan kembali membasahi bumi, menemani langkah kaki gadis kecil itu. Sedari tadi tak bisa diam. Lari kesana kemari, tak
peduli air hujan yang telah membasahi tubuh kecilnya. Tapi selalu berhiaskan senyum dibibirnya. Hujan baginya adalah anugerah Tuhan yang terindah. Setiap tetes hujan yang turun, memberikan hadiah terindah baginya.

Jalanan mulai sepi, tapi gadis kecil itu tak beranjak dari sana. Ia masih terdiam dipinggir jalan dengan payung ditangannya.
Berharap masih ada orang yang membutuhkan jasanya. Tak peduli dengan tubuh kecilnya yang mulai menggigil dan malam
semakin larut. Seorang ibu melambaikan tangan padanya, dibelakangnya seorang anak yang sedang tertawa bahagia. Gadis kecil itu segera berlari kearah mereka. Memberikan payung dan berjalan dibelakangnya.

Setelah diberi uang, ia segera kembali ketempatnya. Tatapan matanya masih tertuju pada ibu dan gadis tadi. Dalam hati gadis kecil itu, amat bahagianya
mereka. Andai saja aku jadi gadis itu, hidupku takkan seperti ini.
“Lea… ayo pulang. Hujan sudah reda.” Perintah seorang lelaki. Lea, nama gadis kecil itu, mengikuti langkah kaki lelaki itu
beranjak dari jalanan. Berjalan melewati jalanan yang mulai sepi, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibir mereka.

Lelaki itu berjalan cepat menatap jauh kedepan, sedangkan Lea mengikutinya dengan kepala menunduk. Sampai disebuah
jembatan, gadis kecil itu berhenti.
“ Ayah…” panggil Lea.
“ Ayo Lea, kita harus segera pulang.” Ujar lelaki yang dipanggilnya ayah itu. Seperti mengerti apa yang dipikirkan Lea.

Ayah, ada apa dengan jembatan ini? Apakah ini sangat berarti untuk Lea? Mengapa tiap kali Lea melewati jembatan ini,
jantung Lea berdetak lebih cepat? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu Lea? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berkecambuk dalam diri Lea.

Terkadang samar-samar sesosok bayangan muncul dalam benak Lea. Sepertinya seseorang yang Lea sayang. Seseorang
yang Lea tunggu kedatangannya. Tapi Lea tak tahu siapa itu. Lea tak mengerti arti semua itu. Semakin lama

Lea memikirkannya. Semakin terasa sakit kepala dan hatinya. Disebuah jembatan, seorang gadis kecil berdiri sambil memeluk boneka bersama sang Bunda dan seorang lelaki yang tak ia kenal.
“Lea… kamu ikut Ayah ya, besok Bunda akan menjemput kamu.” kata sang Bunda. Dengan ragu-ragu Lea bertanya,
“Ayah?”.
“Mulai sekarang paman ini adalah Ayah Lea.” Ujar Bunda sambil menunjuk lelaki di sebelahnya.
“Tapi besok bunda jemput Lea kan?” Tanya Lea. “Iya sayang, Bunda janji. Kamu jangan nakal ya kalau bunda tidak ada. Kamu harus nurut sama Ayah Lea.” pesan sang Bunda. Lea hanya mengangguk pelan.

Tatapan matanya tak henti tertuju pada sang Bunda, yang perlahan menghilang dari pandangannya. Tak terasa air mata jatuh dipipinya. Ia tak rela dengan kepergian sang Bunda. Diiringi dengan turunnya air dari langit.
“Ayo Lea kita pulang, hujan mulai turun.” Kata sang Ayah.
“Lea mau nungu Bunda.” Kata yang terucap dari hati gadis kecil itu.
Sang ayah membiarkan Lea menunggu di jembatan itu. Lama kelamaan gadis kecil itu pun mengantuk dan tertidur. Ayah
membawanya ke sebuah gubuk tak jauh dari jembatan itu. Dipandanginya Lea, gadis kecil tak berdosa yang akan tinggal bersamanya.

Keesokan harinya, Lea meminta sang ayah mengantarnya jembatan itu. Awalnya sang Ayah enggan untuk mengantarnya, tetapi Lea malah menangis dan semakin lama tangisannya semakin keras. Akhirnya sang Ayah luluh dengan tangisan gadis kecil itu.
Satu jam…
Dua jam…
Tiga jam…
Sang Bunda tak jua muncul di jembatan itu. Lea mulai gelisah, ia mulai modar mandir disekitar jembatan. Sang Ayah hanya melihatnya, seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Bunda Lea tak akan kembali sayang.
“Ayah… kapan bunda akan menjemput Lea? Mengapa belum datang juga Ayah? Bunda tak akan meninggalkan Lea bersama Ayah kan? Lea sudah kangen dengan Bunda…”

Lea terus saja berbicara sendiri, hingga tak terasa air mata jatuh disudut matanya. Tetes demi tetes air dari langit mulai
turun, seolah mengerti takut yang dirasakan Lea. Dalam hujan, sesosok wanita berdiri di ujung jembatan.
“Itu Bunda, Ayah” teriak Lea sambil berlari di seberang jembatan. “Lea tunggu…”

Belum selesai sang Ayah berkata, sebuah mobil menabrak tubuh kecil Lea. Lea terkapar dengan darah yang keluar dari kepalanya, sedangkan mobil itu terus saja melaju tanpa mempedulikan gadis kecil itu.
Sejak peristiwa itu, Lea kehilangan ingatannya. Ia hanya tahu, lelaki yang hidup bersamanya adalah Ayahnya.
Walaupun sang Ayah tak banyak bicara tapi Lea tahu sang Ayah sangat menyayanginya. Ketika ia bertanya tentang sang Ibu, Ayah hanya berkata “Ibu telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya”, tanpa tahu apa penyebabnya.

Suatu malam yang dingin, diiringan nyanyian malam. Lea duduk bersimpuh diatas sajadah. Hujan jatuh disudut matanya.
“Tuhan… siapa aku sebenarnya? Beri petunjuk pada hambamu ini Tuhan. Jangan siksa aku dengan masa laluku. Jika Kau
mengizinkan, biarkan aku ini tahu siapa hamba Mu ini. Agar aku tak tersiksa dengan bayang-bayang yang selama ini muncul dibenak hamba Tuhan. Atau biarkanlah hamba menemuimu di surga Mu.”

Ditempat yang sama, ada sesosok bayangan yang terus mengamati Lea. Lea yang sadar akan keberadaan bayangan itu, segera menyudahi doanya dan mengikuti bayangan itu. Dengan hati-hati Lea melangkah.
“Tak usah bersembunyi sayang… ikutlah denganku… kau akan bahagia bila bersamaku…” Sebuah bisikan dari bayangan itu.

Langkah kaki Lea terhenti ketika mereka berada dijembatan. Bayangan itu mulai terlihat samar-samar. Lea berlari untuk
mengejarnya. Hingga bayangan itu hilang diujung jembatan, yang diikuti hilangnya sosok Lea.




Penulis : Azis Js Setyawan
Follow Twitter & Instagram Azis Js :
@75setyawan

Artikel Terkait

Di Ujung Jembatan (Catatan Azis Js Setyawan)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email